.,
UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA (UUDRT) NOMOR 1 TAHUN 1951 (1/1951)
TENT ANG
TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA UNTUK MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL
Presiden Republik |
Indonesia, |
||||
Menimbang |
bahwa |
perlu diadakan |
peraturan |
tentang |
tindakan• |
tindakan |
sementara |
untuk menyelenggarakan |
kesatuan |
susunan. |
|
kekuasaan |
dan acara |
pengadilan-pengadilan sipil; |
Menimbang pula bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan ini perlu segera diadakan;
Mengingat
1. pasal-pasal 96, 101, 102, 103, 132, 133 dan 142 Undang•
undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
2. Undang-undang tentang penghapusan Pengadilan-Raja (Zelfbestuursrechtspraak) di Jawa dan Sumatera (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1947 No. 23) yuncto Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1950 tentang peraturan daerah pulihan, setelah diubah dengan Undang-undang No. 8 tahun 1950;
3. pasal 9 ayat 3 kontrak politik yang dibuat dengan pemerintah-pemerintah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu, karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu (Staatsblad 1939 No. 146, 612 dan 613), pula pasal 9 ayat 3 "Peraturan Swapraja 1938" (Staatsblad 1938 No. 529) yang sekedar mengenai daerah-daerah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu yang hubungannya dengan Pemerintah Republik Indonesia diperintahkan oleh yang disebut "Korte Verklaring";
Memutuskan:
A.Mencabut peraturan-peraturan atau pasal-pasal peraturan-peraturan yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
B.Menetapkan:
UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA UNTUK
MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN, KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL.
Pasal 1.
(1). Pada saat peraturan ini mulai berlaku, dihapuskan a.Mahkamah Justisi di Makasar dan alat Penuntutan Umum padanya; b.Appelraad di Makasar;
c.Appelraad di Medan;
d.segala
e.segala f.segala g.segala h.segala i.segala j.segala
Pengadilan Negara dan segala Landgerecht (cara baru), dan alat Penuntutan Umum padanya;
Pengadilan Kepolisian dan alat Penuntutan Umum padanya; Pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah);
Pengadilan Kabupaten; Raad Distrik; pengadilan Distrik;
Pengadilan Negorij.
(2). Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri
Kehakiman dihapuskan:
a.segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalam Negara
Sumatera Timur dahulu, Karesidenan kalimantan Barat dahulu dan
Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja;
b.segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied), kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat.
(3) Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak-kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdarnaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie.
(4) Pelanjutan peradilan Agama tersebut di atas dalam ayat (2) bab
a dan b, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku
a. tempat kedudukan Pengadilan Tinggi di Yogyakarta dipindahkan ke
Surabaya;
b.tempat kedudukan Pengadilan Tinggi di Bukit Tinggi dipindahkan ke
Medan;
c.diadakan satu Pengadilan Tinggi di Makasar;
d.diadakan satu Pengadilan Negeri dan satu Kejaksaan padanya, ditiap- tiap tempat di mana berdasar atas ketentuan pasal 1 ayat (1) bab d dihapuskan satu Pengadilan Negara atau Landgerecht (cara baru) beserta alat Penuntutan Urnum padanya.
Pasal 3.
(1) Susunan, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Tinggi di Makasar dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan-pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
(2) Pada saat peraturan ini rnulai berlaku, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Tinggi di Jakarta dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan- ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan-pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
Pasal 4.
(1) Pada saat peraturan 1n1 mulai berlaku, daerah hukum
Pengadilan- pengadilan Tinggi ditetapkan seperti berikut:
a.daerah hukum Pengadilan Tinggi di Jakarta meliputi daerah-daerah
hukum segala Pengadilan Negeri dalam daerah Propinsi Jawa
Barat dan daerah- daerah hukum segala Pengadilan Negeri dalam daerah-daerah Propinsi Sumatera Selatan dan bekas karesidenan
Kalimantan Barat;
b.daerah hukum Pengadilan Tinggi di Surabaya meliputi daerah-daerah
hukum segala Pengadilan Negeri dalam daerah Propinsi Jawa
Tengah dan dalam Propinsi Jaw~-Timur;
c. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Medan meliputi daerah-daerah
hukum segala Pengadilan Negeri dalam Propinsi-propinsi
Sumatera kecuali dalam Propinsi Sumatera Selatan;
d.daerah hukum Pengadilan Tinggi di Makasar meliputi daerah-daerah
hukum segala Pengadilan Negeri yang lain dalam daerah Republik
Indonesia.
(2) Kepada Menteri Kehakiman diberi kuasa untuk mengubah, dengan persetujuan Mahkamah Agung, peraturan dalam ayat (1).
Pasal 5.
(1) Susunan, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Negeri dan Kejaksaan yang dimaksudkan dalam pasal 2 bab d tersebut dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan 1n1, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu, dengan ketentuan, bahwa segala Pegawai pada Pengadilan-pengadilan dan pada alat-alat Penuntutan Umum padanya yang dihapuskan menurut ketentuan dalam pasal 1 ayat ( 1) bab d tersebut, dianggap pada saat peraturan ini diundangkan telah diangkat dalam jabatan yang sama pada Pengadilan Negeri dan Kejaksaan yang diadakan baru itu, dan dengan ketentuan pula, bahwa daerah hukum Pengadilan Negeri yang diadakan baru itu, adalah sama dengan daerah hukum pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu, selama tiada penetapan lain dari Menteri Kehakiman.
(2) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Negeri di Jakarta dan Kejaksaan padanya dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
(3) a.Pengadilan Negeri, yang daerah-hukumnya meliputi daerah•
daerah hukum Pengadilan-pengadilan yang dihapuskan berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) bab e, f, g, h, i dan j, dan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b, sebagai pengadilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk Republik Indonesia memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan/atau segala perkara pidana sipil yang dahulu diperiksa dan diputus oleh Pengadilan-pengadilan yang
dihapuskan itu.
b. Hukurn materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum
materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk
kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:
|
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Ki tab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari
dan/atau denda lima ratus rupiah,
pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak
diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang
dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum,
bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi
10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat
yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman
senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukurn yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
c.Jika yang terhukum tak memenuhi putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Agama dalam lingkungan peradilan Swapraja dan Adat, salinan putusan itu harus disampaikan oleh yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah-hukumnya meliputi daerah-hukum Hakim Agama itu untuk dapat dijalankan.
Ketua itu, sesudahnya telah nyata kepadanya bahwa putusan itu tak dapat diubah lagi, menyatakan bahwa putusan dapat dij alankan, dengan menaruh perkataan "Atas nama Keadilan" di atas putusan itu dan dengan menerangkan dibawahnya, bahwa putusan dinyatakan dapat dijalankan, keterangan mana harus ditanggalkannya dan dibubuhi tanda-tangannya.
Setelah i tu putusan dapat dijalankan menurut acara yang berlaku untuk menjalankan putusan perdata Pengadilan Negeri.
Pasal 6.
(1) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala Pengadilan Negeri, oleh segala Kejaksaan padanya dan oleh segala Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia, "Reglemen Indonesia yang dibaharui" (Staatsblad 1941 No. 44) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil, dengan perubahan dan tambahan yang berikut :
a. perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, atau yang rnenurut ketentuan dalarn pasal 5 ayat (3) bab b dianggap diancarn dengan hukuman pengganti yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lirna ratus rupiah begitu juga kejahatan "penghinaan ringan" yang dirnaksudkan dalarn pasal 315 "Ki tab Undang-undang Hukurn Pidana", diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dalarn sidang dengan tidak dihadiri oleh Jaksa, kecuali bilarnana Jaksa itu sebelurnnya telah rnenyatakan keinginannya untuk rnenjalankan pekerjaannya pada sidang itu;
b.dalarn hal rnerneriksa darn rnernutus perkara-perkara yang dimaksudkan dalarn bab a tadi, berlaku ketentuan dalam pasal-pasal 46 sarnpai terhi tung 52 dari "Reglernen untuk Landgerecht" (Staatsblad 1914 No. 317), sedang perkara-perkara itu dapat diperiksa dan diadili walaupun terdakwanya tidak hadir asal saja terdakwa itu telah dipanggil untuk rnenghadap dengan sah;
c.terhadap putusan yang dijatuhkan dengan tak berhadirnya terhukurn itu siterhukurn dapat rnernajukan perlawanan;
d.sebagai acara rnerneriksa dan rnernutus dengan tak berhadirnya terhukurn itu dan rnernajukan perlawanan itu, diturut ketentuan dalarn pasal 6 "Reglemen untuk Landgerecht" (Staatsblad 1914
No. 317) yuncto 1917 No. 323 dengan pengertian bahwa
perlawanan itu harus diajukan kepada Jaksa;
e.putusan-putusan dalarn perkara-perkara yang dirnaksudkan dalarn bab a tadi juga jika perkara-perkara itu tak dirnajukan secara singkat (surnir), tak usah dibuat tersendiri akan tetapi boleh dirnasukkan dalarn catatan perneriksaan sidang.
(2) Pada saat peraturan ini rnulai berlaku, terhadap putusan Pengadilan Negeri tentang perkara pidana selainnya dari pada yang dirnaksudkan dalarn ayat 1 bab a tadi, oleh terdakwa untuk dirinya sendiri atau oleh jaksa yang bersangkutan untuk satu atau beberapa terdakwa dapat dirnohon bandingan oleh Pengadilan Tinggi yang daerah hukurnnya rneliputi daerah hukurn Pengadilan Negeri itu, jika putusan itu tidak mengandung pernbebasan dari tuntutan seluruhnya.
Bandingan itu tidak mengubah putusan yang telah dijatuhkan kepada terdakwa lain.
( 3) Kecuali j ika terdakwa dibebaskan, rnaka sesudah putusan yang dirnaksudkan dalam ayat 2 tadi diucapkan, hakirn rnengingatkan terdakwa akan haknya untuk mohon bandingan dalarn tenggang yang ditetapkan, atau untuk rnenerirna baik putusan Pengadilan, atau sesudah dirnohon bandingan untuk rnenarik kernbali perrnohonan itu, atau untuk min ta supaya rnenj alankannya putusan dipertangguhkan 14 hari larnanya dalarn tempo rnana ia akan memasukkan perrnohonan grasi.
( 4) Peringatan ini dijalankan oleh Pani tera diberitahukannya kepada terdakwa dalarn penjara.
jika put us an
(5) |
Perbuatan yang |
dilakukan |
rnenurut |
ayat |
3 tadi |
harus |
dicatat |
dalam |
surat catatan |
perneriksaan |
sidang. |
(6) Perbuatan yang dilakukan rnenurut ayat 4 tadi harus dicatat di bawah surat putusan.
Pasal 7.
(1) Perrnohonan untuk bandingan harus disarnpaikan dengan surat atau dengan lisan oleh pernohon a tau wakilnya, yang sengaj a dikuasakan untuk rnernajukan permohonan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri yang rnenjatuhkan putusan, dalam tujuh hari, terhitung rnulai hari berikut sesudah hari pengurnurnanputusan kepada yang berkepentingan.
(2) Permohonan itu oleh Panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditanda tangani oleh Panitera tersebut dan jika dapat juga oleh pemohon atau wakilnya, surat keterangan mana harus disertakan dengan surat-surat perneriksaan perkara, dan juga dicatat dalarn daftar.
Pasal 8.
Jika Jaksa yang mernohon bandingan, maka hal ini harus selekas•
lekasnya diberitahukan kepada terdakwa.
Pasal 9.
Selama surat-surat perneriksaan perkara belurn dikirim ke Pengadilan Tinggi, perrnohonan bandingan dapat dicabut kernbali oleh pernohon, dan jika dicabut perrnohonan sedernikian, rnaka tidak dapat diajukan lagi.
Pasal 10.
( 1) Selambat-larnbatnya lima minggu, terhi tung mulai hari berikut sesudah hari pengumurnan putusan Pengadilan Negeri kepada yang bersangkutan, Panitera harus mengirimkan kepada Pengadilan Tinggi turunan dan surat-surat pemeriksaan serta surat-surat bukti.
(2) Dalarn tujuh hari sebelurn pengiriman surat-surat kepada Pengadilan Tinggi dan dalam empat belas hari sesudah diterimanya surat-surat oleh Pengadilan Tinggi harus diberi kesempatan kepada terdakwa atau wakilnya dan kepada Jaksa untuk membaca surat-surat tersebut.
(3) Mulainya berlaku tenggang 1n1 harus diberitahukan kepada terdakwa dan Jaksa oleh Pani tera Pengadilan Neger i dan Pani tera Pengadilan Tinggi.
Pasal 11.
Pemeriksaan dalarn tingkat bandingan dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan Tiga Hakim, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri terdakwa atau saksi.
Pasal 12.
Dalam |
perkara |
kejahatan yang terdakwanya menurut Undang-undang |
dapat |
ditahan |
sementara, sejak permohonan bandingan diajukan |
Pengadilan tinggilah yang menentukan ditahan atau tidaknya.
Pasal 13.
Selama Pengadilan Tinggi belum memutuskan dalam tingkat bandingan
terdakwa atau wakilnya |
dan Jaksa dapat |
menyerahkan |
surat-surat |
pembelaan atau keterangan |
kepada Pengadilan |
Tinggi. |
Pasal 14.
(1) Dalam tingkat bandingan Pengadilan Tinggi dapat mengubah surat tuntutan secara yang boleh dilakukan oleh Jaksa Kejaksaan Negeri dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(2) Atas pengubahan surat tuntutan ini terdakwa harus didengar oleh Pengadilan Tinggi sendiri atau oleh Pengadilan Negeri atas perintahnya.
Pasal 15.
(1) Jika menurut pandapat Pengadilan Tinggi ada kesalahan atau kealpaan atau yang kurang lengkap atau kurang sempurna dalam pemeriksaan tingkat pertama, hal-hal ini harus diperbaiki.
(2) Dalam hal ini Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan perbaikan ini oleh Pengadilan Negeri yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama atau oleh salah satu Hakim dari Pengadilan Tinggi.
(3) Jika perlu, Pengadilan Tinggi dapat membatalkan perbuatan Hakim dalam tingkat pertama yang mendahului putusan penghabisan Pengadilan Negeri.
(4) Apabila ha! ini terjadi, Pengadilan Negeri tersebut harus mengulangi pemeriksaan dalam tingkat pertama mulai dengan perbuatan yang dibatalkan tadi.
Pasal 16.
(1) Setelah semua hal tersebut di atas dipertimbangkan dan dijalankan, Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan, yaitu membenarkan atau mengubah putusan Pengadilan Negeri atau membatalkannya dan mengadakan putusan sendiri.
(2) Jika pembatalan ini terjadi atas putusan
Negeri, karena ia tidak berhak memeriksa
Hakim Pengadilan perkaranya, maka
perkaranya harus dikembalikan kepada Hakim
tersebut yang wajib memeriksanya.
Pengadilan Negeri
Pasal 17.
(1) Jika terdakwa dalarn tingkat bandingan dihukum oleh karena kejahatan yang terdakwanya menurut Undang-undang dapat ditahan sementara, Pengadilan Tinggi menentukan penahanan berjalan terus atau penghentiannya penahanan.
(2) Jika keadaan berlainan dari pada yang tersebut dalarn ayat l,Pengadilan Tinggi, tidak boleh memerintahkan penahanan dan jika terdakwa tertahan, perintah penahanan harus dicabut.
Pasal 18.
Putusan Pengadilan Tinggi dalarn tingkat bandingan ini harus ditanda tangani oleh semua Hakim yang turut memutuskan dan oleh Pani tera yang turut membantu meriksa, kecuali jika mereka berhalangan, hal mana harus dicatat dalam surat putusan.
Pasal 19.
(1) Turunan putusan ini beserta dengan surat-surat pemeriksaan harus selekas-lekasnya dikirim kepada Pengadilan Negeri yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
(2) Isi putusan harus diberitahukan kepada terdakwa oleh Panitera Pengadilan Negeri itu selekas mungkin, pemberi tahukan mana harus dicatat dalam putusan Pengadilan Negeri.
Pasal 20.
(1) Dengan mengingat peraturan pemerintah tentang permohonan grasi demikian juga peraturan tentang pengembalian barang-barang bukti segera sesudah habis sidang dan jika tiada peraturan lain dari pada ayat-ayat yang tersebut di bawah ini, maka putusan Pengadilan Tinggi dalarn tingkat bandingan ini harus selekas-lekasnya dijalankan oleh Jaksa dari Kejaksaan pada Pengadilan yang mengadili perkara dalam tingkatan pertama.
(2) Untuk dapat menjalankan putusan itu, Panitera Pengadilan Negeri yang tersebut dalam pasal 19 ayat 2, sesudah diberitahukannya putusan itu kepada terdakwa menurut aturan dalam pasal 19 itu, mengirimkan kepada Jaksa yang tersebut dalam ayat 1 pasal 1n1 untuk tiap-tiap terdakwa petikan dari putusan itu berangkap dua, dalam petikan mana disebut :
nama, umur, tempat lahir, pekerj aan, tempat tinggal atau tempat
kediarnan terdakwa, putusan dari Pengadilan dalam peradilan tingkat
pertama dan putusan dalam tingkat bandingan, hari putusan itu dijatuhkan, demikian pula nama Hakim yang turut memberi keputusan, dan lagi perintah tentang penahanan terdakwa, dengan catatan bahwa putusan itu sudah mendapat kekuatan tetap kecuali dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan.
(3) Putusan Pengadilan tersebut dalam ayat 1
Tinggi itu dijalankan oleh pasal ini secara peraturan
Jaksa yang menjalankan
putusan perkara pidana dalam peradilan tingkatan pertama. ATURAN PERALIHAN
A. (l)Dalam 7 hari sesudah peraturan ini mulai berlaku, dimana-mana
"Reglemen Indonesia yang Dibaharui" (Staatsblad 1941 No.
44) mulai berlaku sebagai pedoman tentang perkara pidana
sipil. Jaksa Pengadilan Negeri diwajibkan memeriksa dalam daerah hukumnya orang manakah yang ditahan
sementara oleh karena kej aha tan sipil yang terdakwanya menurut Undang-undang dapat ditahan sementara.
(2)Jika ada alasan cukup untuk meneruskan penahanan sementara itu, Jaksa yang bersangkutan harus mengeluarkan dalam 7 hari tersebut untuk tiap-tiap tersangka perintah penahanan yang berlaku 30 hari.
B.Jika pada saat peraturan ini mulai berlaku belum lagi liwat 7 hari, terhitung mulai hari berikut sesudah hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan, tenggang yang di tetapkan dalam pasal 7 untuk dapat mohon bandingan terhadap putusan perkara pidana yang diterangkan dalam pasal 6 ayat 2 harus dihitung mulai dari pada saat peraturan ini telah mulai berlaku.
C.Dengan rnulai berlakunya peraturan ini, seketika itu juga segala pengadilan yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dan segala alat Penuntutan Umurn yang sekedar ada pada Pengadilan-pengadilan itu harus rnemperhentikan pekerjaannya.
D. (1) Segala perkara yang pada saat peraturan ini rnulai berlaku telah ada pada Mahkarnah Justisi di Makasar, dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi di Makasar, rnenurut hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Tinggi itu.
(2)Untuk dapat melakukan ketentuan dalam bab 1, Panitera Mahkamah tersebut harus rnenyerahkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat perneriksaan sidang dan segala surat pernbukti perkara itu kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
{3)Arsip, uang dan barang-barang (inventaris) Mahkamah tersebut, oleh Paniteranya harus selekas-lekasnya diserahkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
{4)Kepala alat Penuntutan Umum pada Mahkamah tersebut harus selekas-lekasnya rnenyerahkan segala perkara pidana yang ada padanya untuk diperiksa beserta segala barang bukti dan arsip, uang dan barang-barang Kantornya kepada Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri di Makasar.
E. ( 1) Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku
telah ada pada Appelraad di Makasar, dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan perneriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi di Jakarta dengan rnengindahkan ketentuan Undang-undang ini.
(2)Untuk dapat rnelakukan ketentuan dalarn bab 1, Panitera Appelraad tersebut harus rnengirirnkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat perneriksaan sidang dan segala surat pernbukti perkara itu kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
(3)Arsip, uang dan barang-barang Appelraad tersebut, oleh Paniteranya harus selekas-lekasnya diserahkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
F. ( 1) Segala perkara yang pada saat peraturan aru, rnulai berlaku telah ada pada Appeiraad di Medan, dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan perneriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi di Medan rnenurut hukurn acara yang berlaku untuk Pengadilan Tinggi itu.
(2)Untuk dapat rnelakukan ketentuan dalarn bab 1, Panitera Appelraad tersebut harus rnenyerahkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat perneriksaan sidang dan segala surat pernbukti perkara itu kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
(3)Arsip, uang dan barang-barang Appetraad tersebut, Paniteranya harus selekas-lekasnya diserahkan Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
oleh kepada
G. ( 1) Segala perkara yang pada saat peraturan a.n i rnulai berlaku tel ah ada pada Pengadilan Negara, Landgerecht ( cara baru), Pengadilan Kepolisian, Pengadilan Magistraat (Rendah), Pengadilan Kabupaten, Raad Distrik, Pengadilan Distrik dan Pengadilan Negorij dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan perneriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang dirnaksudkan dalarn pasal 5 bab 3 huruf a, rnenurut hukurn acara yang berlaku untuk Pengadilan Negeri itu.
(2)Untuk dapat rnenjalankan ketentuan dalarn bab 1, Hakim yang rnengepalai berikut rnasing-rnasing Pengadilan Kepolisian, Pengadilan Magistraat (Rendah), Pengadilan kabupaten, Raad Distrik, Pengadilan Distrik dan Pengadilan Negorij harus rnengirirnkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat perneriksaan sidang dan segala surat pernbukti perkara itu kepada Pani tera Pengadilan Negeri yang dirnaksudkan dalarn pasal 5 bab 3 huruf a.
(3)Arsip, |
uang dan barang-barang pengadilan-pengadilan |
yang |
dimaksudkan dalam bab 2 beserta segala barang bukti |
yang |
ada padanya, oleh hakim yang mengepalai pengadilan•
pengadilan itu harus selekas-lekasnya diserahkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam pasal 5
bab 3 huruf a.
H. ( 1) Terhadap segala perkara pidana yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah diputuskan oleh Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat, maka ketentuan dalam aturan peralihan bab B yuncto ketentuan dalam pasal 5 bab 3 huruf b berlaku juga.
(2)Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat melainkan perkara yang dikecualikan berdasar atas ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b , dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a, menurut hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Negeri itu.
(3)Untuk dapat melakukan ketentuan dalam bab 1, Pemimpin swapraja dan Pemimpin Pengadilan Adat harus mengirimkan selekas• lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat pemeriksaan sidang dan segala surat pembukti perkara itu kepada Panitera pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.
(4)Arsip |
Pengadilan Swapraja |
dan segala barang bukti yang ada |
||
padanya, dan arsip, Adat beserta segala |
uang dan barang-barang Pengadilan barang bukti yang ada padanya, oleh |
|||
Pemimpin pengadilan-pengadilan selekas-lekasnya kepada Panitera |
itu harus Pengadilan |
diserahkan Negeri yang |
||
dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.
(5)Kepala alat Penuntutan Umum pada Pengadilan Swapraja harus menyerahkan selekas-lekasnya segala perkara pidana yang ada padanya untuk diperiksa beserta segala barang bukti dan arsip Kantornya, dan Kepala alat Penuntutan Umum
pada Pengadilan selekasnya segala |
Adat harus menyerahkan selekas• perkara pidana yang ada padanya untuk |
|
diperiksa beserta dan barang-barang Pengadilan Negeri |
segala barang bukti, dan arsip, uang Kantornya, kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 |
|
huruf a. |
||
Ketentuan |
terakhir. |
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 1950
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO
Diundangkan
pada tanggal 14 Januari 1950
MENTERI KEHAKIMAN,MENTERI KEHAKIMAN,
WONGSONEGORO
UMUM
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG DARURAT NO 1 TAHON 1951
TENTANG TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA UNTUK MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN, KEKUASAAN
DAN ACARA PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL.
Pemerintah prefederal telah menyusun susunan pengadilan• pengadilan yang dahulu dinamakan "Governements-rechtspraak" secara regional, dengan Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi untuk seluruh Indonesia.
Untuk beberapa daerah-daerah Indonesia oleh Pemerintah prefederal itu telah diadakan peraturan-peraturan tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan regional itu, misalnya pengadilan dalam pemeriksaan tingkat pertama di sini dinamakan Landgerecht, di situ Pengadilan Negara, di sana Pengadilan Negeri, dan dalam tingkat bandingan di sini dinamakan
Appelraad, |
di situ Mahkamah Justisi |
(Hof van Justitie), di sana |
Pengadilan |
Tinggi. |
Dari putusan perkara pidana sipil yang dijatuhkan dalam pemeriksaan tingkat pertama, di sini tak dapat dimintai pemeriksaan ulangan, di sana hanya dapat diminta jika hukurnan yang dijatuhkan itu melebihi satu tahun penjara, di situ dapatlah diminta dalam perkara yang diancam hukuman lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, asal putusan dalam tingkat pertama tidak memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnya.
Pada saat pemulihan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat keadaan dalam lingkungan pengadilan yang dahulu dinamakan "Gouvernements-rechtspraak" telah menjadi begitu ruwet, hingga hanya beberapa penduduk Indonesia saja mengetahui bagaimanakah susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan regional
tersebut.
Berdasar atas pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, peraturan-peraturan tersendiri tersebut tetap berlaku sebagai peraturan-peraturan R.I.S. sendiri, selama dan sekedar peraturan• peraturan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang• undang atas kuasa Konstitusi itu.
Maka karena daerah-daerah-bagian R.I.S. berhak, berdasar atas pasal 155 Konstitusi, mengatur kekuasaan pengadilan-pengadilan yang diakui dengan atau atas kuasa Undang-undang daerah-daerah-bagian itu, tidak mungkinlah bagi Pemerintah R.I.S. untuk mencapai kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan regional itu.
Hanya susunan, kekuasaan dan acara Mahkamah Agung, yang bentuknya berdasar atas pasal 113 Konstitusi, telah dapat diatur oleh Pemerintah R.I.S. dengan Undang-undang No. 1 tahun 1950 (Lembaran Negara No 30 Tahun 1950).
Sebuah rancangan Undang-undang untuk mengganti Undang-undang tersebut berhubung dengan pembentukan Negara Kesatuan, oleh Pemerintah Republik Indonesia telah disampaikan kepada Dewan Menteri.
Pada saat Negara Kesatuan telah didirikan, maka kekuasaan daerah-daerah-bagian R.I.S. tidak seketik~ itu juga berhenti.
Baharu sekaranglah kekuasaan daerah-daerah-bagian R.I.S. beradalah, bai k de j ure maupun de facto, dalam tangan Pemerintah Republik Indonesia, yang dengan tidak menunggu lagi telah menyampaikan sebuah rancangan Undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan cara Pengadilan-pengadilan Negeri dan Pengadilan• pengadilan Tinggi kepada Dewan Menteri.
Rancangan Undang-undang itu mengandung azas unifikasi susunan, kekuasaan dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia.
Rancangan Undang-undang itu berazas pula, bahwa, - kecuali
j ika dalam Undang-undang ditetapkan suatu pengadilan lain untuk
memeriksa dan memutus (misalnya : perkara-perkara yang dimaksudkan
dalam pasal-pasal 106 dan 108 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia atau perkara-perkara pidana militer) , hanya Pengadilan Negeri belaka berkuasa memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan segala perkara pidana sipil.
Maka Pengadilan Negeri, menurut rancangan Undang-undang itu, adalah Hakim sehari-hari biasa untuk segala penduduk Republik Indonesia.
Pendirian rancangan Undang-undang itu berakar dalam azas-hukum yang tersebut di bawah ini.
Dalam "suatu negara-hukurn yang dernokratis dan berbentuk kesatuan", dalam hal ini Negara Republik Indonesia (pasal 1
Undang-undang Dasar Sernentara) - , Rakyat yang rnernegang Kedaulatan harus percaya, bahwa dalarn Negaranya terdapatlah suatu alat negara• hukurn itu yang tak berpihak (artinya yang tidak tunduk begitu saja pada alat perlengkapan negara yang lain) dan yang rnernenuhi :
"sernata-rnata pada syarat kepandaian, kecakapan dan kelakuan tak-bercela yang ditetapkan dengan Undang-undang (pasal 101 ayat 2- Undang-undang Dasar), dan "bertentangan dengan kernauannya tiada seorang juapun dapat dipisahkan" dari padanya (pasal 13 ayat 2
Undang-undang Dasar), untuk rnernberi "bantuan-hukurn yang sungguh" kepada "sekalian orang yang ada di daerah Negara" yang "sama berhak rnenuntut perlindungan untuk diri dan harta-bendanya", "rnenuntut perlakuan dan perlindungan yang sarna oleh Undang-undang", "menuntut perlindungan yang sarna terhadap tiap-tiap pernbelakangan dan terhadap tiap-tiap penghasutan untuk rnelakukan pernbelakangan demikian", "rnelawan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan hak• hak dasar yang diperkenankan kepadanya rnenurut hukum", "dalarn persarnaan yang sepenuhnya rnendapat perlakuan jujur dalam perkaranya, dalarn hal rnenetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalarn hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukurnan yang dimajukan terhadapnya beralasan atau tidak", dianggap tak bersalah
j ika di tuntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana "sampai dibuktikan kesalahannya dalarn suatu sidang pengadilan, menurut aturan-aturan hukurn yang berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pernbelaan" dengan mengindahkan, bahwa "tiada seorang juapun (yang) boleh dituntut untuk dihukurn atau dijatuhi hukurnan, kecuali karena suatu aturan hukurn yang sudah ada dan berlaku terhadapnya" dan "apabila ada perubahan dalarn aturan hukum seperti tersebut dalarn ayat di atas, rnaka dipakailah ketentuan yang lebih baik bagi si tersangka" (pasal-pasal 7, 8, 13 dan 14 Undang-undang Dasar).
Tugas yang oleh azas-azas-hukurn tercanturn dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia dibebankan kepada seorang Hakim, adalah amat berat.
Tugas itu rnenuntut pelajaran 'ilrnu hukurn yang sempurna dan yang tiada berkeputusan, dan rnelainkan kepandaian dan kecakapan istimewa itu, peri-peri perangai dan peri-peri budi yang agak
berlainan dari pada yang harus dipenuhi |
oleh |
seorang pegawai |
Pamong-praja, seorang pegawai Tata-Usaha |
atau |
seorang pegawai |
Polisi. |
Pendek kata, tugas Hakim itu rnenuntut tenaganya sepenuh• penuhnya dan suatu obyektipitet, kedua hal mana tak dapat dipenuhi olehnya, jika ia selain menjadi suatu badan yang khusus mernberi keadilan kepada Rakyat merangkap pula menjadi suatu bagian alat perlengkapan negara yang lain.
Maka dari itu pasal 103 Undang-undang Dasar Republik Indonesia memperlindungkan Rakyat akan melawan urusan pengadilan oleh alat-
alat perlengkapan Negara yang bukan perlengkapan pengadilan.
Kekuasaan Hakim itu adalah amat besar, sebab Hakim dapat menjatuhkan putusan dengan memakai kekerasan.
Jika kekuasaan itu diberikan kepada suatu alat perlengkapan Negara yang tidak bebas dan, karena itulah tidak obyektip pula, maka kekuasaan itu akan dipergunakannya untuk meneguhkan kedudukannya atau oleh penyelenggara alat perlengkapan itu akan salah dipakainya, ialah untuk mencapai suatu maksud yang lain dari pada memelihara keadilan.
itu.
Riwayat dari banyak Negara telah membuktikan hal sedemikian
Keadilan, yaitu "tenax propositum et constans haec perpetuaque voluntas cuique quod tempori populoque convenientes leges et in viridi positae observatae definiverunt singulis tribuendum esse",
1)
Keadilan, yaitu "leichmaszig - unvoreigenommene Auwendung des positiven d.h. des in der Gemeinschaft praktisch und faktisch gultigen Recht", 2)
Keadilan, "always the same in the case of men and things you do not like as in the case of these you do like", always the same whether it be due from one man to a million, or from a million to one man", 3)
Keadilan, yang dianggap luhur itu dalam daerah Republik Indonesia, pemeliharaannya tak boleh lebih lama lagi dipasrahkan kepada pengadilan-pengadilan yang terdiri dari pada Hakim yang tidak mempunyai kebebasan dan - pada umumnya - tak memenuhi syarat• syarat, kepandaian dan kecakapan yang menurut Undang-undang Dasar harus dipenuhi oleh seorang Hakim.
Berhubung dengan apa yang diuraikan di atas ini, telah nyata kiranya, bahwa dalam seluruh daerah Indonesia segala pengadilan• pengadilan sipil dari Negara yang memeriksa dan memutus perkara• perkara perdata dan (atau) pidana, jika pengadilan-pengadilan itu
khusus terdiri dari |
para Hakim yang bukan Hakim |
karena jabatannya |
(beroepsprechters), |
lagi pula segala kekuasaan |
Hakim-hakim desa, |
harus dihapuskan. |
1), 2), 3) :asal dari perkataan-perkataan yang disebutkan itu, diterangkan dalam majalah hukum untuk Negara Belgia bernama "Rechtskundig Weekblad", perj alanan tahun ke 13 No. 40 (karangan Mr. J.L. Apeldoorn tentang "Wet en Gerechtigheid").
Oleh karena rancangan "Undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan Negeri dan Pengadilan• pengadilan Tinggi" tersebut harus dipelajari dan dibicarakan oleh Dewan Menteri dahulu, dan baharu sesudahnya itu akan disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan arnanat Presiden Republik Indonesia, sehingga kiranya beberapa bulan akan lalu sebelum rancangan itu telah rnenjadi Undang-undang, rnaka terpaksalah karena keadaan-keadaan yang rnendesak dengan Undang-undang Darurat ini diarnbil tindakan-tindakan yang arnat perlu.
Maka oleh Undang-undang Darurat ini ditiadakan a. segala pengadilan Distrik,
b. segala pengadilan Kabupaten,
c. segala pengadilan Negorij, d. segala Raad Distrik dan
e. segala pengadilan Magistraat - yang di beberapa daerah-daerah
Indonesia pada waktu ini dinarnakan pengadilan Rendah.
(Periksalah pasal-pasal 1, 77 dan 81 R.O., 1, 3, 10, 18 dan 26
Reglernen Hukum Acara Seberang, I juncto 12 Reglernen Kalirnantan
Timur Besar, 2 Reglemen Pengadilan Indonesia Timur, 2 Voorlopig
Rechtsreglement, 2 Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. I Tahun 1950 dan
Undang-undang No. 8 Tahun 1950 tersebut, juncto pasal 142 Undang•
undang Dasar Sementara).
Pengadilan-pengadilan Kepolisian (periksalah pasal-pasal 1 dan
116 bis R.O., 1 dan 49 Reglemen Hukum Acara Seberang, 2 Voorlopig
Rechtsreglement, 2 Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1950 dan
Undang-undang No. 8 Tahun 1950 tersebut, juncto pasal 142 Undang• undang Dasar Sementara) pada waktu ini praktis segenapnya dirangkap oleh Hakim-hakim pada pengadilan Negeri setempat.
Maka untuk rnencapai suatu rasionalisasi susunan dan tata-usaha pengadilan-pengadilan di Indonesia,Pemerintah harus menghapuskan pula dengan Undang-undang Darurat ini, segala pengadilan Kepolisian.
Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalarn daerah-daerah Negara Sumatera Timur dahulu, karesidenan Kalirnantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, dan segala pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) - kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan• peradilan Swapraja dan Adat itu - harus dihapuskan karena alasan yang sarna mengenai pengadilan-pengadilan itu telah disebutkan di atas, dan berdasarkan yang berikut.
Dalarn daerah Republik Indonesia dahulu, "sernua Pengadilan-Raja di Jawa dan Sumatera" telah dihapuskan berdasar atas ketentuan• ketentuan Undang-undang 1947 No. 23.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1950 juncto Undang-undang No. 8 tahun 1950 penghapusan tersebut dilakukan juga ten tang pengadilan-pengadilan-Raja (Swapraja) dalam daerah-daerah pulihan Republik Indonesia dahulu itu.
Mengingat pasal 132 juncto 133 Undang-undang Dasar Sementara dan hak Pemerintah Republik Indonesia (Kesatuan) untuk menghapuskan pengadilan-pengadilan itu j ika kepentingan umum memaksa, hak mana berdasarkan pasal 9 ayat 3 kontrak politik yang dibuat dengan
beberapa daerah-daerah Swapraja dalam |
Negara Sumatera Timur |
dahulu |
karesidenan Kalimantan Barat dahulu |
dan Negara Indonesia |
Timur |
dahulu (periksalah Staatsblad 1939 No. 146, 612 dan 613), dan
berdasarkan pula pasal 9 ayat 3 "Peraturan Swapraja 1938" (Staatsblad 1938 No. 529) yang sekedar mengenai daerah-daerah Swapraja dalam Negara-negara dahulu tersebut dan karesidenan dahulu tersebut yang hubungannya dengan Pemerintah Republik Indonesia (Kesatuan) dipemerintahkan oleh yang disebut "Korte Verklaring", maka penghapusan pengadilan-pengadilan Swapraja itu adalah setuju dengan hukum oleh karena seluruh Rakyat yang bersangkutan berulang• ulang sangat mohon itu.
Pengadilan-pengadilan Adat, yang berdasar atas Staatsblad 1932
No. 80 setelah diubah oleh Stbl. 1938 No. 264 dan 370, dan atas
pasal-pasal 1 dan 12 Reglemen Kalimantan-Timur Besar, 1 Reglemen
Pengadilan Indonesia Timur, 2 Voorlopig Rechtsreglement, 2
Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1950 juncto Undang-undang No. 8 tahun 1950, dan pasal-pasal 101, 102 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara, selain dari tidak mencukupi syarat-syarat yang Undang• undang Dasar Sementara menuntut dari suatu alat perlengkapan pengadilan, juga tidak diingini lagi oleh seluruh Rakyat yang bersangkutan yang berulang-ulang telah mohon penghapusannya.
Akan tetapi hal menghapuskan peradilan Swapraja dan peradilan Adat tak mungkinlah dijalankan pada saat itu juga peraturan ini diundangkan, oleh sebab tenaga Hakim pada Pengadilan Negeri yang amat besar diperluaskan pekerjaannya karena penghapusan itu belum
cukup adanya.
Berhubung dengan hal itu, maka penghapusan tersebut akan dijalankan berangsur-angsur menurut kebutuhan dengan memperbaiki tenaga-tenaga yang dapat disediakan.
Oleh karena dalam tempo yang pendek Kitab Hukum Pidana Sipil akan diulang-mengundangkan, setelah Kitab itu disesuaikan dengan keadaan pemerintahan yang baharu ini, dan kini belum ada tentu apakah perbuatan-perbuatan pidana-adat dan hukuman-hukuman-adat harus diakui terus, maka untuk sementara waktu perbuatan-perbuatan pidana-adat itu dan hukuman-hukuman-adat itu tidak dihapuskan.
Peradilan Agama dalam Lingkungan peradilan-peradilan Swapraja dan Adat belum dihapuskan, oleh karena Pengadilan-pengadilan Agama dalam lingkungan peradilan yang dahulu dinamakan "Gouvernements-
.J
rechtspraak" |
untuk sementara waktu |
dilakukan terus seperti |
diterangkan |
di bawah ini. |
Pengadilan-pengadilan Agama berdasarkan pada begitu banyak peraturan-peraturan tersendiri - baik peraturan-peraturan Kekuasaan Militer Belanda, Undang-undang biasa dan peraturan-peraturan Residen, maupun peraturan-peraturan adat-istiadat , bahwa tak mungkinlah menyebutkan peraturan-peraturan itu satu demi satu.
Kekuasaan pengadilan Agama itu tidak teratur bersamaan di seluruh Indonesia.
Bagi pulau Jawa, pulau Madura, daerah Banjarmasin - kecuali daerah-daerah Pulu Laut dan Tanah Bumbu - dan daerah Hulu Sungai, kekuasaan pengadilan-pengadilan Agama khusus meliputi perkara• perkara antara orang-orang Islam yang menurut adat-istiadat harus diputus menurut Agama Islam dan bersangkutan dengan nikah-kawin, cerai, rujuk, rnahar, hadlanah dan nafakah (periksalah pasal 2a Staatsblad 1882 No. 152, setelah ditarnbah dan diubah oleh Staatsblad 1937 No. 116, dan pasal 3 Staatsblad 1937 No. 638).
Bagi Negara Sumatera Timur dahulu, kekuasaan pengadilan Agama selainnya rneliputi perkara-perkara yang disebutkan tadi juga perkara-perkara antara orang-orang Islam yang rnenurut adat-istiadat harus diputus menurut agama Islam dan bersangkutan dengan "menetapkan bahagian pusaka untuk ahli waris masing-masing" (pasal
3 ketetapan Wali Negara Surnatera Timur tertanggal I Agustus 1950
No. 390/1950, Warta Resmi N.S.T. 1950 No. 78).
Bagi daerah-daerah lain di Indonesia kekuasaan pengadilan Agama berdasarkan pada, atau pasal 12 Peraturan Swapraja 1938 tersebut, atau pasal 12 Staatsblad 1932 No. 80 tersebut, atau salah satu reglemen peraturan pengadilan yang resional, akan tetapi batas-batas kekuasaan itu tidak dinyatakan di situ karena mengenai adat-istiadat, setidaknya Kepala Swapraja atau Residenlah yang menetapkannya.
Biaya perkara untuk pengadilan Agama - pada umurnnya - ada lebih tinggi dari pada biaya perkara untuk pengadilan Negeri.
Supaya keputusan-keputusan pengadilan Agama dapat dijalankan, jika yang terhukum tak dengan rela hati memenuhi keputusan, maka - pada umumnya - dari keputusan pengadilan Agama itu harus diminta "executor verklaring" kepada Ketua pengadilan Negeri setempat.
Maka untuk mempersatukan urusan perkara perdata yang harus diputus menurut hukum syarat Islam, Pemerintah mengharapkan akan membicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, apakah tidak harus memilih memasrahkan j uga urusan perkara perdata i tu kepada pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri dapat menanggungkan keahlian istimewa tentang hukum syarat Islam itu, jika pengadilan Negeri dalam urusan perkara yang dimaksudkan tadi, terdiri dari seorang Hakim yang
beragama Islam sebagai Ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai Anggota,
Pasal 4 ayat 2 rancangan "Undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan Negeri dan Pengadilan-pengadilan Tinggi" mengandung pendirian tersebut.
Selain dari pada untuk menghapuskan seketika ini juga segala pengadilan Distrik, segala pengadilan Kabupaten, segala pengadilan Negorij, segala Raad Distrik, segala pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah), segala pengadilan Kepolisian, dan berangsur• angsur, segala pengadilan Swap raj a dan segala pengadilan Adat - kecuali peradilan Agama jika peradilan itu rnenurut hukum yang hidup rnerupakan satu bagian tersendiri dari peradilan-peradilan Swapraja dan Adat itu - rnaka Undang-undang Darurat ini berrnaksud pula untuk:
a.mempersatukan Gubernernen memeriksa sipil;
seketika 1n1 juga pengadilan-pengadilan Sipil dari yang merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk dan memutus perkara perdata dan perkara pidana
b.mempersatukan seketika 1n1 juga alat-alat Penuntutan Umum pada pengadilan-pengadilan tersebut bab a.
Jadi mulai dari sekarang ini segala pengadilan itu dinamakan: "Pengadilan Negeri" dan semua pegawai-pegawai Penuntutan Umum
padanya : "Jaksa" atau "Wakil-Jaksa".
c.mempersatukan seketika 1n1 juga acara tentang perkara-perkara pidana sipil dalam lingkungan peradilan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Jadi mulai dari sekarang ini hanya Reglemen Indonesia yang dibaharui (Staatsblad 1941 No. 44) seberapa mungkin dipakai sebagai acara tentang perkara-perkara pidana sipil dalam lingkungan peradilan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
d.mempersatukan seketika ini juga hak untuk dapat dimohon bandingan oleh Pengadilan Tinggi dari putusan Pengadilan Negeri tentang perkara pidana, serta mempersatukan acara dalarn tingkat bandingan itu.
Jadi mulai dari sekarang ini hak untuk dapat mohon bandingan dari putusan Pengadilan Negeri tentang perkara pidana, diberikan kepada segala terdakwa dan segala Jaksa yang bersangkutan, jika putusan itu mengenai suatu perkara pidana sipil yang diancam hukuman lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, asal putusan itu tidak memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnya, dan mulai pada saat yang berdasarkan ketentuan dalam pasal I ayat (2) oleh Menteri Kehakiman dalam suatu daerah yang akan ditentukan-Nya dihapuskan peradilan Swapraja atau peradilan Adat, makapun hak untuk dapat mohon
..!
bandingan dari putusan Pengadilan Negeri tentang perkara yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, diberikan kepada segala terdakwa dan segala Jaksa yang bersangkutan, jika putusan itu yang sekedar tidak memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnya mengenai suatu perkara pidana yang menurut ketentuan dalam pasal 5 ayat (3) bab b harus dianggap diancam dengan hukuman (pengganti) yang lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah.
e.menempatkan atau mendirikan Pengadilan-pengadilan Tinggi di Kota•
kota yang menurut kenyataan perlu diadakan.
Jadi di samping Pengadilan Tinggi yang telah ada di Jakarta, mulai dari sekarang ini akan terdapat Pengadilan-pengadilan Tinggi di Surabaya, di Medan dan di Makassar.
Oleh karena Appelraad di Medan, Appelraad di Makassar dan Mahkamah Justisi di Makassar mulai dari sekarang ini telah dihapuskan, pengadilan-pengadilan sipil untuk pemeriksaan dalam tingkat bandingan juga telah dipersatukan.
f.menetapkan secara lebih rasionil dari pada dahulu, daerah-daerah hukum pengadilan-pengadilan sipil yang dirnaksudkan dalam bab e.
Berhubung dengan apa yang telah diterangkan di atas ini, maka penjelasan sepasal demi sepasal dari Undang-undang Darurat ini, dianggap tidak perlu lagi.
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN YANG TELAH DICETAK
|
Sumber: LN 1951/9; TLN NO. 81